
Kakakku perempuan. Umur kami hanya selisih dua tahun. Semasa kecil, aku termasuk bandel. Aku sering berantem, pukul-pukulan dengan teman-temanku. Ada saja penyebabnya. Misalnya, temanku melumuri baju yang kupakai dengan gulali yang sedang dimakannya.
Tentu saja aku marah dan memukulnya. Lalu, kalau awalnya aku dan temanku sedang main jambak-jambakan rambut, lama-kelamaan kami saling jambak dengan marah. Meski demikian, bukan berarti aku mengisi waktu bermainku bersama teman-teman dengan berantem terus, lo. Kami juga sering berpura-pura menjadi tokoh favorit kami, antara lain Power Ranger dan Satria Baja Hitam.
Waktu kelas 1 – 3 SD, nilai raporku sering merah, terutama untuk pelajaran Bahasa Indonesia dan Agama. Kemampuan otakku memang pas-pasan, hehe… Kedua pelajaran itu banyak hapalannya, padahal aku paling tidak suka menghapal. Aku jadi sering bolos sekolah kalau hari itu ada salah satu dari dua pelajaran itu. Agar ibuku tidak curiga, aku mengaku sakit panas dan mengompres dahi. Padahal sih, segar bugar. Ha ha….

DILARANG MAIN
Aku disetrap di depan tiang bendera gara-gara kepergok minggat dari kelas. Aku tiga kali diminta menyampaikan pesan agar orang tua datang ke sekolah, tapi pesan itu tak pernah kusampaikan. Habis, malas rasanya. Apesnya, aku tidak punya prestasi menonjol. Jadilah guru-guru makin dongkol terhadapku. Ironisnya, di rumah aku jadi "anak baik".
Aku patuh pada kedua orang tuaku dan tidak membuat onar. Pulang sekolah aku tidur siang, dan sore adalah waktuku belajar. Mama memang tidak mengizinkan anak-anaknya main keluar rumah, karena rumah kami terletak di pinggir jalan raya. Praktis, waktu itu aku jarang punya teman main di rumah. Hari libur pun kami tidak boleh main jauh-jauh.

Setelah kelas empat, aku mulai banyak teman, jadi nakalku sedikit berkurang. Tapi kupikir, wajar saja anak kecil nakal. Lebih baik nakal saat masih kecil ketimbang kelak setelah dewasa, kan? Sejak kelas 5 pula, angka di raporku mulai hitam semua. Karena tidak boleh main itulah, akhirnya aku jadi mengalihkan waktuku dengan belajar dan mengerjakan PR.
Oh ya, uang sakuku dulu Rp 100 sehari. Dulu Mama menjual es batu dengan memanfaatkan kulkas di rumah. Uang hasil penjualan es batu itu yang kuambil untuk uang jajan. Habis, Mama pernah bilang, kalau mau jajan, kami disuruh mengambil uang itu, yang diletakkan di atas kulkas. Karena Mama bilang begitu, kalau ingin jajan, kuambil saja semuanya. Kalau ingat masa itu, kupikir, aku ini licik juga ya. Haha…
NGEMBAT UANG SPP
Waktu kelas 6, untuk pertama kalinya aku masuk supermarket di kotaku, diajak teman-temanku. Saat itu, aku memutuskan untuk membeli permen dalam kotak kemasan. Tapi kami tidak tahu di mana harus membayar. Kami berputar-putar di dalam supermarket mencari kasir, tapi ternyata tiba-tiba kami sudah ada di bagian luar supermarket itu.

Waktu itu kami bergandengan sambil ngebut. Tak tahunya di depanku ada mobil. Aku mengerem mendadak. Akibatnya, motorku ditabrak dari belakang oleh motor yang dinaiki temanku. Waktu SMP pula, aku mulai belajar merokok. Selain itu, aku juga sering ngembat uang SPP. Kalau ditanya orang tuaku, aku jawab uangnya sudah kubayar. Padahal sih, kupakai untuk jajan, beli benang dan layangan, atau untuk main musik.
Biasanya aku main layangan di atas genting rumah. Pokoknya bersenang-senang, tapi yang kulakukan tetap hal-hal yang positif, lo. Yah, namanya remaja, keinginan untuk punya uang pasti ada. Tapi karena kondisi perekonomian keluargaku pas-pasan, jalan keluar yang kuambil ya itu tadi.
Menjelang pengambilan rapor, supaya tidak ketahuan orang tua, aku sengaja minta uang dengan alasan untuk beli buku. Padahal uang itu kupakai untuk melunasi SPP. Haha… Bandel, ya? Kalau ketahuan, aku dihukum tidak diberi uang jajan. Yah, dibandingkan dengan dipukul, hukuman itu buatku lebih baik. Lagipula, orang tuaku tak pernah memukul. Dan untungnya, meski prestasiku biasa-biasa saja, aku lulus.

Sejak kelas 2 SMP memang aku sudah mulai main musik bersama teman-temanku, antara lain Bebek (???), Medi (???) dan Dodi, tetangga depan rumahku. Malah, Dodi sejak SD sudah pandai mencipta lagu dan main musik. Kami sering ikut festival, membawakan lagu-lagu kesukaan kami dari Metallica. Kelas 3 SMP, aku juga sempat ikut kursus vokal di Yamaha Music Club selama 3 bulan. Lagi-lagi, uang kursus pun aku embat, untuk jajan dan nonton bioskop bersama pacar. Hehe…
Tapi kalau sedang tidak punya uang, pacarku sudah puas kuajak ke sawah melihat kodok atau nonton layar tancap. Oh ya, kehidupanku saat SMP seolah berjalan sangat cepat. Tanpa terasa, aku sudah masuk SMA Pahlawan. Aku masuk sekolah swasta bukan karena anak orang kaya, lo, melainkan karena kemampuan akademikku biasa-biasa saja.
Kehidupan ekonomi keluargaku memang seadanya, tapi kedua orang tuaku sangat memperhatikan pendidikan kami. Mereka ingin kami mendapat pendidikan setinggi mungkin. Dulu, Papa bekerja sebagai satpam di rumah sakit pemerintah. Setelah itu, menjadi sopir ambulan. Sejak 1998, Papa yang pegawai negeri, naik pangkat menjadi pegawai administrasi.
Sedangkan Mama mengurus keluarga di rumah. Meski kehidupan keluargaku pas-pasan, tak pernah sekali pun kudengar Papa mengeluh. Bahkan tentang berat atau capeknya pekerjaan itu baginya. Papa memang pendiam, tidak seperti Mama yang 'cerewet'. Tapi setelah besar aku sadar kok, Mama cerewet karena ingin anaknya yang bandel ini menjadi anak yang baik. Toh, aku tahu, kedua orang tuaku sama-sama sayang padaku dan kakakku yang kini telah menikah.
(Nomor depan: cara berpikir Andhika mulai dewasa, meskipun saat SMA ia pernah membuat marah orang tuanya sehingga diancam ayahnya akan dikeluarkan dari sekolah. Di samping itu, karier bermusiknya terus berkembang. Bahkan, nama bandnya terkenal di Lampung, dan mereka ditawari rekaman di Jakarta. Sayang, jalan berliku menuju Ibukota sempat membuat mereka kapok karena harapn yang terlanjur membuncah mendadak pupus.)
Credits :Tabloid Nova
0 komentar:
Posting Komentar